ANALISIS EKONOMI INDONESIA PADA
ERA ORDE BARU
Disusun oleh :
Kelompok 11
1.
Geni Enka
Lestari (23211029)
2.
Luthfi Yuliana (24211180)
3.
Shinta Amelia .D (29211160)
4.
Wiris Eria .R (28211069)
1EB25
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan
yang terjadi pada era Orde Baru dalam perekonomian Indonesia menarik penulis
untuk membahasnya. Salah satu hal yang menarik perhatian penulis adalah
peristiwa terjadinya Krisis Moneter yang melanda Indonesia pada awal Juli 1997.
Pada peristiwa terjadinya Krisis Moneter ini telah berubah menjadi krisis
ekonomi yang melanda seluruh pelosok negeri, yang mengakibatkan lumpuhnya
kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya
jumlah pekerja yang menganggur.
Krisis ekonomi tersebut
tidak sepenuhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, melainkan
ditambahi ataupun diperberat dengan
terjadinya musibah-musibah nasional yang datang silih berganti di tengah
kesulitan ekonomi yang sedang terjadi seperti terjadinya kegagalan panen padi
di banyak wilayah Indonesia yang diakibatkan oleh musim kering yang
berkepanjangan dan terparah selama 50 tahun terakhir, serta peristiwa kerusuhan
yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu.
Dari alasan-alasan di atas penulis berusaha melakukan pembahasan yang
terjadi pada waktu itu. Penulis mencoba untuk mengetahui dan memaparkan hal-hal apakah
yang terjadi era Orde Baru dalam
perekonomian Indonesia, dan apa sajakah dampak yang ditimbulkan dari krisis
moneter tersebut.
BAB II
ISI
2.1
Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Awal Masa Orde Baru
Di
awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang
terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika
Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat
tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan
Soeharto.
Untuk
menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang berbeda
jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau lakukan dengan
menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi
pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk
menarik modal.
Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996
tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet
AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki
sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :
a.
Rendahnya penerimaan
Negara
b.
Tinggi dan tidak
efisiennya pengeluaran Negara
c.
Terlalu banyak dan
tidak produktifnya ekspansi kredit bank
d.
Terlalu banyak
tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang
berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2.
Debirokratisasi untuk
memperlancar kegiatan perekonomian.
3.
Berorientasi pada
kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut
maka ditempuh cara :
1.
Mengadakan operasi pajak.
2.
Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan
dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam
menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan
sasaran yang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka
Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut
Pelita(Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dari
Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara
Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
2.2
Krisis Moneter dan Faktor – faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah
fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, terutama karena utang
swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah
sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar
dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya.
Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang
sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi
terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri
dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini,
meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia
tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain, walaupun distorsi pada tingkat
ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang
rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak
cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan
akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling
bersusulan. Analisis dari faktor faktor penyebab ini penting, karena
penyembuhannya tentu tergantung dari ketepatan diagnosa.
Bank dunia melihat adanya empat sebab
utama yang bersama sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank,
1998,pp.17-1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang
cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997. Sebab yang kedua adalah kelemahan pada
sistem perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan
pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma krisis
kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan
cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi pemilu yang lalu
dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
Penyebab utama dari terjadinya krisis
yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadapa dollar
AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak
faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan
kejadiannya :
1.
Dianutnya sistem
devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan
arus modal dan valas dapat mengalir keluar masuk secara bebas berapapun
jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa
bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang
sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening
valas didalam negeri atau diluar negeri. Valas bebas diperdagangkan didalam
negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat pusat keuangan di
luar negeri.
2.
Tingkat
depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah nilai tukar nyatanya,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan
kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih
cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang
makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai rupiah, yang
overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang
impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga
masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi
dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetetif dan impor
meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap
serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang
nyata.
3.
Akar dari segala
permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan
juga wessel et al.:22), ditambah sistem perbankan nasional yang lemah.
Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai
jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah
yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak
yang bersalah disini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah
adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan
membuat nilai rupiah terus menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang
tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam
mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam
negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana keluar negeri dan agar
masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi disini pemerintah
dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama
tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun tahun sehingga memberi
rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin
besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh
pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan
terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan
proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri,
terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, disamping lebih
menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal
sebagai fallay of thinking2, dimana pengusaha beramai ramai
melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena
masing masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak
memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut
bersalah, karena kurang hati hati dalam memberi pinjaman dan salah
mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF,
1998:5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung
sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
4.
Permainan yang
dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin
dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada
saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif
kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi
komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari
sistem perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank
Indonesia memutuskan untuk tidak invertensi dipasar valas karena tidak akan ada
gunanya.
5.
Kebijakan fiskal
dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar dengan pita batas
intervensi. Sistem ini meyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan
mengundang tindakan spekulasi ketika sistem batas intervensi ini dihapus pada
tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution : 2). Terkesan tidak adanya kebijakan
pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisisi
(Nasution:1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidakmampuan
pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi
kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat (Wrold
Bank, 1998:1.10).
6.
Defisit neraca
berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff 10;IDE), yang
disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar daripada
ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai
tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor
menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7.
Penanaman modal
asing portpolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diimingimingi
keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (Worl Bank,
1998, hal. 1.3,1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan
luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar
dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif
stabil sekitar 4% pertahun sejak 1986 meyebabkan banyak modal luar negeri yang
mengalir masuk. Setelah nilai tukar rupiah tambah melemah dan terjadi krisis
kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun di coba
ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi
atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak
pada investor luar negeri yang kurrang waspada dan meremehkan resiko (IMF,
1998: 5). Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank,
1998, p.2.1).
8.
IMF tidak
membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran ddana bantuan yang
dijanjikan dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik.
9.
Spekulan
domestik ikut bermain (Wessel et al., hal 22). Para spekulan ini pun tidak
semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistem
perbankan untuk bermain.
10. Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang
menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan
tidak merosot dan bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah.
Terjadilah snowball effect, dimana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin
besar.
11. Daya saing negara-negara
Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak pereusahaan Jepang
melakuakn relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara Indonesia. Tahun
1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap Yen Jepang, sementara nilai utang
dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen,
sehingga menimbulkan krisis keuangan (Ehrke: 2).
Di lain pihak harus
diakui bahwa sektorr rill sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun
kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa
ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan
perekonomian Indonesia seperti pada orde baru ini. Memang terjadi dislokasi
sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan atau
kelompok tertentu uang menguntungkan mereka dan merugikan rakyat banyak dan
perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli dii
berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil
nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang
dipengaruhi oleh sektor rill dalam negeri, meskipun kelemahan sektor rill dalam
negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi
sektor rill saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah karena terdapat ketidakseimbangan
antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang
tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS yang melambung dan tidak terbendung.
Sebab itu tindakan yang harus segera di dahulukan untuk mengatasi krisis
ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi
kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat, dalam dan
luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar
rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan
stabilitas sosial dan politik.
2.3 Program reformasi Ekonomi IMF
Menurut IMF, krisis
ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebakan karena pemerintah baru
meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangata terdpresiasi. Strategi
pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata
uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap
program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer
1998b). Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui
persetujuannya dengan IMF, second supplementary memorandum of economic and
financial policies (MEFP) tanggal 24 juini, kemudian 29 Juli 1998, dan yang
terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999.
Program bantuan IMF
pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi
yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang, yaitu :
1.
Penyehatan
sektor keuangan
2.
Kebijakan fiskal
3.
Kebijakan
moneter
4.
Penyesuaian
struktural
2.4 Dampak dari Krisis
Dewasa ini semua permasalahan dalam
krisis ekonomi berputar putar sekitar kurs nilai tukar valas, khususnya dollar
AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam
rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun ditammbah PHK, padahal harga
dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali sebagian sektor pertanian dan ekspor.
Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara umum sudah kita
ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar negeri dalam
rupiah melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan
tutup atau mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban
utang yang tinggi, toko sepi, PHK dimana mana, investasi menurun karena impor
barang modal mennjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak.
Dampak lain
adalah laju inflasi yang tinggi selama beberapa bulan terakhir ini, yang bukan
disebabkan karena imported inflation, tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign
exchange induced inflation. Masalah ini hanya bisa dipecahkan secara mendasar
bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang wajar atau nyata
(riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan harga harga
bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipun
tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya kebijakan moneter. Namun, secara
keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih
besar dari dampak positifnya.
2.5 Prospek Ekonomi
Indonesia
Prospek ekonomi untuk
beberapa tahun mendatang adalah kurang cerah dan akan ditandai oleh pertumbuhan
ekonomi yang negatif. Menurut perkiraan IMF pada bulan Maret 1999 lalu,
pertumbuhan GDP nyata Indonesia pada tahun 1998/9 diperkirakan akan negatif
sebesar 16%, dan tingkat inflasi sekitar 66%. Keadaan ekonomi yang sangat parah
ini diperkirakan pada bulan-bulan mendatang masih akan berlangsung terus,
karena krisis belum juga menyentuh dasar jurang. Berapa lama krisis ekonomi ini
masih akan berlangsung, sulit untuk diramalkan karena tergantung pada banyak
faktor. Faktor-faktor tersebut adalah bantuan IMF dan donor-donor lainnya yang
segera, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada tingkat yang
wajar, pulihnya kepercayaan investor dalam dan luar negeri, keamanan yang
mantap, suasana politik dan sosial yang stabil.
Akan tetapi sekali
krisis berakhir dan ekonomi berbalik bangkit kembali, maka perbaikan ini
diperkirakan akan berlangsung relatif cepat. Karena prasarana dasar untuk
pembangunan sudah tersedia, tenaga terlatih, pabrik, mesin-mesin sudah ada,
sehingga yang diperlukan adalah pulihnya kepercayaan dan masuknya modal baru.
BAB III
KESIMPULAN
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi
kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan
politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam
jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu
stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan
pembangunan.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi
perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga
ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental
ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak
didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang
bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat
resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan
bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang
menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai
keadaan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Tarmidi, Lepi T. Krisis
Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF Dan Saran. File PDF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar